Pagi dan Hal-Hal yang Dipungut Kembali
Sejumlah Epigram oleh Goenawan Mohamad
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tahun Terbit: 2011
Buku ini merupakan cetusan-cetusan ide yang pernah ditulis oleh Goenawan Mohamad, sebagian melalui twit-twitnya di media sosial. Ide-ide tersebut dikemas dalam bentuk epigram, karena singkatnya, tak menampilkan sesuatu yang lengkap walau sejatinya dilatari oleh pengalaman dan pemikiran yang lebih lengkap dan dalam.
Epigram-epigram yang disajikan dalam buku ini lebih menyerupai kumpulan kutipan pemikiran seorang Goenawan.
Berikut beberapa kutipan yang menarik untuk ditampilkan:
Saya tak mengharapkan pahlawan. Orang tak selalu baik, benar, berani. Tapi saya mengagumi tindakan yang baik, benar, berani, biarpun hanya sebentar. (hal 11).
Kita harus saling mengingatkan ketika kita memilih lupa dan ingatan. Tugas pertama penulis sejarah: jujur. Tugas kedua: rendah hati (hal 11).
Yang logis belum tentu yang benar. Untuk memahami ini cukup baca Agatha Christie (hal 11).
Pagi: hujan meredam burung-burung. Tapi saya tahu mereka ada di sana, belum terusir (hal 13).
Ketika tindakan besar nyaris tak ada, tindakan kecil tak ada salahnya dihargai (hal 14).
The road is not a complete presence. It is a process created by people walking on it. (h.15)
Yang kehilangan pagi, mungkin akan mendapatkan hari, tapi tetap kehilang pagi (h.15).
Kaum revolusioner sejati tidak ditandai oleh teriak dan mulut gede, tapi dengan aksi dan ide (h.18).
Kita terbiasa mengkritik masa kini dengan menyebut masa lalu lebih bagus. Masa kini mungkin jelek, tapi benarkah masa lalu lebih bagus? (h.20)
Yang menodai agama adalah mereka yang memamerkan agama sebagai sumber kekerasan, kebencian, dan pikiran yang serba curiga (h.21).
Hipokrisi itu cara orang busuk menyatakan iri kepada orang baik. Diam-diam ia buat dirinya jadi sebuah fotokopi (h. 25)
Sesuhngguhnya akan merosot agamamu ketika kau nilai orang lain berdasarkan ras dan kaumnya, bukan amalnya (h.26)
Yang tak tahu apa arti sebuah tanah air tak akan tahu bagaimana berterima kasih kepada sejarah (h.30).
Politik itu keharusan yang merisaukan. Politik membelah orang dalam kubu-kubu. Ia hanya berharga jika tujuannya bukan untuk kubu sendiri (h.32)
Korban kekerasan akhirnya juga korban lupa. Mereka seperti tikus sial yang dibunuh entah siapa. Dan kekerasan pun berulang, berulang (h.39)
Perempuan seperti cuaca: panas dan berubah-ubah. Lelaki seperti perempuan: panas dan berubah-ubah (h.43)
Buku adalah sebuah pertemuan. Saya ingat naskah tulisan dengan kisah "Sam Pek Eng Tai" dalam bahasa Jawa yang dibaca bergiliran buruh-buruh rokok (h.43)
Gemar mencurigai "asing" bukanlah tanda patriotisme. Itu cuma gejala paranoia (h.46)
Ruang kosong, itulah yang penting dalam kendi. Dalam donat, yang kosong itu penghematan. Maka kendi lambang Buddhisme, donat tanda kapitalisme (h.50)
Ada yang merasa kuat karena menghimpun, menguasai, memiliki. Ada yang merasa kuat (dan bahagia) karena melepas, merelakan, membebaskan (h.52)
Siapa yang memperjuangkan keadilan hanya untuk diri sendiri, dan tega untuk tak adil terhadap golongan lain, sebenarnya tidak memperjuangkan keadilan (h.59)
Hujan (bulan Juni atau bulan lain) tak akan menghapus kebohongan. Hujan hanya membubarkan kumpul-kumpul (h.60)
Seorang teman menganjurkan saya bermeditasi. Kosongkan dirimu dari sesuatu yang diam-diam memberimu kekuatan -- yaitu kebencian (h.73)
Sleep is a bliss. I'd like to be away from the quick quips of smart cynics and the instant hatred of fanatics (h.73)
Apa Indonesia bagimu? "Tempat yang ditakdirkan untuk saya belajar bagaimana berbeda, bagaimana bersatu, dan bagaimana untuk tak putus asa." (h.75)
Pessimist: "Jakarta is a perfect chaos." Optimist: "At least we can produce something perfect." (h.79)
Pagi: hidup tak hanya ditentukan oleh judul-judul berita, bukan? (h.89)
Mungkin bahkan pagi tak akan menghibur mereka yang disisihkan karena miskin, yang mau dihabisi karena intoleransi, difitnah karena politik (h.90)
Seorang insomnia adalah seorang yang mencintai tidur. Tapi cinta itu tak berbalas (h.91)
Si optimis melek melewati tengah malam karena yakin akan ada esok. Si pesimis melek melewati tengah malam karena takut malam akan pergi (h.92)
Selamat minggu pagi. Terasing dari berita kadang-kadang membuat hidup tampak lebih lega (h.94)
Ketika pendidikan sastra praktis nihil di sekolah-sekolah, perkenalan puisi lewat lagu jadi alternatif yang baik. Sastra dinikmati, bukan dihafal (h.99)
Fajar adalah tanda: hidup dimulai dengan berbagi matahari (h.99)
Pagi seperti memperbarui kita, justru ketika satu hari lagi hilang dari usia (h.104)
Di balik tiap karya seni ada kegilaan. Juga insomnia (h.108)
Kita tak bisa memperpanjang pagi, apalagi dengan tidur (h.114)
Meditasi sederhana pagi ini adalah memandang dan mendengarkan burung tanpa ingin memilikinya (h.115)
Tidur adalah mencintai libur dengan cara yang sederhana (h.119)
Bagi yang ulang tahun: hari ini matematika memaafkan kamu, yang menganggap bertambah sama dengan berulang (h.125)
Ingatan tak pernah utuh. Masa silam tak pernah satu. Ada kenangan yang memilih damai (h.189)
Post Top Ad
Your Ad Spot
Hubungi Kami
Sabtu, 10 November 2018
Pagi dan Hal-Hal yang Dipungut Kembali
Tags
2011#
Goenawan Mohamad#
Gramedia#
Gramedia Pustaka Utama#
Share This
About Wisnu
Gramedia Pustaka Utama
Label:
2011,
Goenawan Mohamad,
Gramedia,
Gramedia Pustaka Utama
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Post Top Ad
Your Ad Spot
Author Details
Seorang anak manusia yang tak sengaja hobi membaca lalu ingin menulis cerita. Itu saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar