Saripati ilmu yang diekstrak dari berbagai buku bermutu di dunia

test

Breaking

Post Top Ad

Your Ad Spot

Hubungi Kami

Nama

Email *

Pesan *

Senin, 18 Juni 2018

Let’s Change! Kepemimpinan, Keberanian, dan Perubahan


Penulis: Rhenald Kasali
Tahun Terbit: 2014
Penerbit: Kompas

Buku ini berisi artikel-artikel yang ditulis oleh Rhenald Kasali dan dimuat di harian Kompas. Tulisan-tulisan itu bertemakan tentang ide-ide perubahan yang dikelompokkan menurut sektor tertentu, seperti pada sektor pendidikan, ekonomi, birokrasi, pariwisata, hingga sosial masyarakat.

Buku ini diterbitkan ketika presiden RI masih Pak SBY. Beberapa artikel cenderung mengapresiasi upaya presiden membangun negeri ini, walau di sisi lain juga mengkritik kebijakan pembantu-pembantu presiden di bidang tertentu.

Di bagian awal, penulis juga membandingkan antara pemerintahan Gus Dur yang telah menghasilkan banyak perubahan dengan pemerintahan SBY yang relatif sedikit perubahannya. Tetapi dengan begitu banyaknya perubahan, usia tahta Gus Dur hanya berlangsung singkat. Hal ini tidak mengherankan karena perubahan itu akan menimbulkan banyak kegaduhan, perlawanan, bahkan pemberontakan dan kematian. Secara umum, Rhenald Kasali menyatakan bahwa perubahan itu identik dengan resistensi, penyangkalan, dan kemarahan.

Pada salah satu artikel di buku tersebut, ditulis oleh Rhenald bahwa nilai-nilai budaya negatif yang perlu segera diberishkan adalah jalan pintas, konflik, saling curiga, mencela, foto-foto, mengedepankan otot, tidak tahu malu, popularasime, prosedur, dan menunda.

Sementara di tempat lain, penulis juga menyatakan bahwa Indonesia membutuhkan krisis agar kita tidka menjadi bangsa yang malas, hanya mengulang apa yang sudah dilakukan, terperangkap tradisi, mudah puas diri, tak berinisiatif, akhirnya frustasi menjadi pengutang tak berdaya.

Penulis juga mengulas tentang bahasa perubahan. Ada dua macam bahasa: dialektika dan trialektika. Dialektika kental dengan istilah-istilah teror (“awas saja”), konflik (“lawan”, “frustasi”), konfrontasi (“hadapi”), dan kekuasaan (“hancurkan”, “tekan”, “mobilisasi masa/kekuatan”, “taklukkan”, “kuasai”) sedangkan trialektika cenderung lebih optimis. Bahasa trialektika ditopang oleh tujuan yang jelas (a clear future), daya tarik (attractiveness), adanya keaktifan. Trialektika tidak mengenal kata resistensi, karena pendekatannya adalah introspektif, seperti “mereka belum tertarik” atau “belum mengerti.”

Dalam perubahan, kadang ada yang namanya “progress paradox” yaitu munculnya masalah-masalah baru pada setiap kemajuan. Oleh karena itu, perubahan membutuhkan lebih dari sekadar komunikasi, yaitu terobosan kilat, aliansi kekuatan, endorsement, dan tentu saja nyali. Pemimpin perubahan tidak hanya dituntut untuk thinking out of the box tetapi juga jumping out of the box.

Di bagian lain, penulis menyebutkan seperti ini, “sebelum rasa sakit seseorang melebihi rasa takutnya, ia belum mau berubah.” Dalam manajemen klasik, sering digunakan kedua instrumen tersebut: takut dan sakit. Jika rasa takut atas sanksi-sanksi tertentu tidak juga membuat seseorang berubah, bisa jadi rasa sakit akan mengubahnya. Rasa sakit yang dimaksud di sini adalah diambilnya aneka kenikmatan yang biasa diterima, termasuk bonus, jabatan, hingga pekerjaan.

Dalam konteksi kepemimpinan, penulis membandingkan budaya atau jiwa kepemimpinan orang barat dengan kita, bangsa Indonesia. Di luar negeri, apabila ada kesalahan, seseorang cenderung menyalahkan diri sendiri. Sementar di negeri kita, orang-orang cenderung menyalahkan pihak lain ketika terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Hal ini sudah tertanam dalam jiwa sejak anak-anak. Sebenarnya itu bukanlah karakter pemenang. Pemenang melihat keberuntungan sebagai buah dari kerja keras dan disiplin, sementara bangsa yang kalah lebih mudah tersulut emosi tetapi ragu-ragu bertindak.

Masih dalam konteks kepemimpinan, seorang pemimpinan harus mampu melakukan alignment (penyatuan pikiran dan tindakan). Ada tiga macam alignment yang harus dikuasai oleh seorang pemimpin: memimpin ke atas dan ke bawah (vertical) dan mempimpin ke samping (horizontal).

Di sektor pendidikan, penulis mengusulkan kurikulum berpikir untuk menghasilkan generasi pengemudi ketimbang penumpang. Pengemudi berarti anak-anak diajarkan untuk berpikir kritis, berani mengambil risiko. Tujuan pendidikan adalah memperbaiki cara berpikir seseorang, sekaligus membebaskan manusia dari berbagai belenggu mitos yang mengikatnya.

Di bidang birokrasi, penulis menyebutkan adanya penyakit mental berupa kebiasaan meminta petunjuk yang dianggap sama bahayanya dengan kebiasaan buruk lainnya. Orang-orang dengan kebiasaan tersebut masuk kategori the dependent personality type dengan ciri-ciri submisif, patuh, mudah mengubah kedirian, berkata-kata manis, dan selalu butuh persetujuan orang lain.

Di dunia birokrasi Indonesia, sebenarnya orang-orang di dalamnya bagus. Namun, ada indikasi penyakit yang disebut di atas dengan beberapa alasannya: meminta petunjuk sebagai ekspresi sopan santun kepada atasan dan karena superioritas atasan yaitu bila atasan yang menghendaki seperti itu.

Di sektor pariwisata, penulis mengkritik tentang kinerja pemerintah. Terlebih dengan statistik yang sangat kontras antara Indonesia dengan negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, hingga Thailand.

Untuk ulasan lainnya, Anda dapat membaca pada ulasan berikut:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Your Ad Spot